Jumat, 21 Januari 2011

MENCARI KEBENARAN

"Demi masa, dan cahanya di pagi hari. Demi bulan bulan ia mengiringi (matahari). Demi malam tiba ia menutupinya. Demi langit yang dibina padanya. Demi bumi yang dibentangkan padanya. Demi sukma dan penyempurnaannya."
[QS.91 surat Asy Syams (matahari) ayat 1-2]


Saya akan sampaikan sekelumit kisah, bagaimana Nabi Muhamad SAW ketika ia sedang merenung dan berpikir untuk mencari sebuah kebenaran.
Di puncak gunung Hira, sebelah utara kota Mekah, terletak sebuah gua yang baik sekali untuk menyendiri dan tafakur. Sepanjang bulan Rahmadhan, setiap tahun Muhamad pergi kesana, dan berdiam ditempat itu, dengan hanya membawa sedikit bekal.
Muhamad bertekun dalam renungan dan ibadah. Jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari kebenaran dan kebenaran semata.
Demikian kuatnya Muhamad merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga Ia lupa akan dirinya, lupa makan, lupa segalanya yang ada dalam hidup ini. Sebab segala yang dilihatnya dalam manusia sekitarnya bukan suatu kebenaran. Disitu Muhamad mengukapkan kesadaran batinnya, segala yang disadarinya.
Muhamad tidak berharap yang dicarinya itu akan terdapat di dalam kisah-kisah lama, atau didalam tulisan-tulisan pendeta, melainkan dalam alam semesta. Dalam luasan langit dan bintang-bintang,dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir dikala panas membakar dibawah sinar matahari yang berkilauan. Atau kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang lembut, atau dalam laut dan deboran ombak, dan dalam segala yang ada dibalik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam hal itulah Muhamad mencari "hakikat tertinggi". Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat Muhamad menyendiri, jiwanya membumbung tinggi mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembus takbir yang menyimpan semua rahasia. Muhamad tidak memerlukan perenungan yang panjang guna mengetahui apa yang dipraktekkan oleh masyarakatnya dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai korban-korbannya untuk Tuhan-Tuhan mereka itu. Dan tidak membawa kebenaran sama sekali.

Tetapi! ah, dimana gerangan kebenaran itu! dimana kebenaran dalam alam semeta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan langit dan bintang-bintangnya. Adakah dalam bintang yang bekelip-kelip memancarkan cahaya?... Tidak! bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau dibalik benda-benda itu terdapat eter yang tidak terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apakah hidup yang kita alami sekarang dan besok akan berkesudahan? apakah asalnya dan dari mana sumbernya? kebetulan sajakah bumi ini diciptakan dan dijadikan pula kita didalamnya?. Tetapi baik bumi atau hidup itu sudah mempunyai ketentuan yang pasti dan tidak berubah-rubah, yang tidak mungkin hanya kebetulan semata. Apa yang dialami manusia kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia itu sendiri, ataukah itu sudah dibawanya saat Ia lahir sehingga tak kuasa memilih yang lainnya?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian itu, juga dipikirkan oleh Muhamad ketika Ia mengasingkan diri dan bertekun didalam gua Hira. Muhamad ingin melihat "kebenaran" dan melihat hidup itu seutuhnya. Pemikiran seluruh hal itu memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal itu menderanya terus menerus. Bila bulan Rahmadhan berlalu Ia kembali kepada Khadijah (istrinya), pengaruh pikiran yang masih membekas pada dirinya membuat Khadijah selalu menanyakannya, karena Iapun ingin lega hatinya bila diketahuinya Muhamad dalam keadaan sehat dan afiat. Ini sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang didambakan Muhamad.

Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Rahmadhan. Muhamad bertambah matang, dan jiwanya pun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa "kebenaran tertinggi" itu, bermimpi dalam tidurnya dengan mimpi yang hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar