Minggu, 17 Agustus 2014

Kisah Sunan Ampel

Foto cungkup dan menara masjid Agung Sunan Ampel Surabaya 


Jirat makam Sunan Ampel beserta istrinya dengan hiasan bunga melati dan mawar pada acara haul Sunan Ampel ke-544



Penjiarah tampak berkirim doa dimakam Sunan Ampel dan istrinya 





Sekilas Tentang Sunan Ampel 


Sunan Ampel putra Syaikh Ibrahim As-Samarkandi adalah tokoh Wali Songo tertua yang berperan besar dalam pengembangan dakwah  Islam di Jawa dan tempat lain di nusantara.

Melalui pesantren Ampeldenta, Sunan Ampel mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Dengan cara menikahkan juru dakwah Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit, Sunan Ampel membentuk keluarga-keluarga muslim dalam suatu jaringan kekerabatan yang menjadi cikal-bakal dakwah Islam di berbagai daerah.

Sunan Ampel sendiri menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembu Sura, Raja Surabaya yang muslim. Jejak dakwah Sunan Ampel tidak hanya di Surabaya dan ibu kota Majapahit, melainkan meluas sampai kedaerah Sukadana di Kalimantan.


Asal-Usul Dan Awal Kedatangannya Ke Jawa 


Raden Rahmat datang ke Jawa bersama saudara tuanya yang bernama Ali Musada (Ali Murtadho) dan saudara sepupunya ya g bernama Raden Burereh (Abu Hurairah). Mereka mendarat di Tuban. Setelah tinggal beberapa lama diTuban, Imam Rahmatulah berangkat ke Majapahit menemui bibinya yang dikawin Raja Majapahit yang masih beragama Budha.

Kedatangan Raden Rahmat ke Majapahit diperkirakan terjadi awal dasawarsa ke empat abad ke-15, yakni saat Arya Damar sudah menjadi Adipati Palembang sebagaimana riwayat yang menceritakan bahwa sebelum ke Jawa Raden Rahmat telah singgah di Palembang.

Raden Rahmat sewaktu di Palembang menjadi tamu Arya Damar selama dua bulan, dan dia berusaha memperkenalkan Islam kepada raja Palembang itu.

Arya Damar yang sudah tertarik kepada Islam itu hampir saja diikrarkan menjadi Islam. Namun karena , tidak berani menanggung risiko menghadapi tindakan  rakyatnya yang masih terikat pada kepercayaan lama, Ia tidak menyatakan keIslamannya dihadapan umum. Menurut  cerita setempat, setelah memeluk Islam, Arya Damar memakai nama Ario Abdilah.

Keterangan dari Hikayat Hasanuddin yang dikupas oleh J. Edel (1938) menjelaskan bahwa pada waktu kerajaan Champa ditaklukan oleh raja Koci, Raden Rahmat sudah bermukim di Jawa. Itu berarti Raden Rahmat ketika datang ke Jawa sebelum abad 1446 Masehi, yakni pada tahun jatuhnya Champa akibat serbuan Vietnam.

Hal itu sejalan dengan sumber dari Serat Walisana yang menyatakan bahwa Prabu Brawijaya, raja Majapahit mencegah Raden Rahmat kembali ke Champa karena Champa sudah rusak akibat kalah perang dengan kerajaan Koci.


Penempatan Raden Rahmat di Surabaya dan saudaranya di Gresik, tampaknya memiliki kaitan erat dengan suasana politik di Champa, sehingga dua bersaudara tersebut ditempatkan di Surabaya dan Gredik dan dinikahkan dengan perempun setempat.

Pengakatan Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan gelar sunan dan kedudukan wali di Ngampeldenta dilakukan oleh raja Majapahit. Dengan demikian, Raden Rahmat lebih dikenal dengan sebutan sunan Ngampel.

Dalam perjalanan menuju Ampel, dikisahkan  Raden Rahmat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning yang berupa hutan. Ditempat itu Raden Rahmat bertemu dengan Ki Wiryo, Saroyo. Menurut sumber lain Ki Wirajaya yang dikenal sebagai Ki Bang Kuning yang kemudian menjadi pengikut Raden Rahmat. Sementara menurut Babad Tanah Djawi, sewaktu tinggal di kediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat menikah dengan putri  Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah. Dari pernikahan itu lahir dua orang  putri yang bernama Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah.

Selama tinggal dikediaman Ki Bang Kuning, Raden Rahmat dikisahkan membangun masjid dan menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat sekitar. Demikian pula Ki Bang Kuning yang menjadi mertua Raden Rahmat ikut membantu menyebarkan agama Islam disekitar kediamannya, terutama melalui masjid yang dibangun menantunya.

Menurut Serat Walisana, Raja Majapahit tidak langsung mengakat Raden Rahmat di Ampeldenta, melainkan menyerahkan kepada Adipati Surabaya bawahan Majapahit bernama Arya Lembu Sura, yang beragama Islam.
Arya Lembu Sura dikisahkan menempatkan Raden Santri Ali menjadi iman di Gresik dengan gelar Raja Pendita Agung dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadho). Setelah itu Arya Lembu Sura  menempatkan Raden Rahmat sebagai Imam di Surabaya, berkediaman di Ampeldeta dengan gelar Sunan Ampeldeta, dengan nama Pangeran Katib.

Dikisahkan juga Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja dari Tuban. Menurut Sedjarah Dalem, Arya Teja dari Tuban menikahi putri Arya Lembu Sura dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Itu berarti  Nyai Manila yang dinikahi Raden Rahmat adalah cucu dari Arya Lembu Sura. Oleh karena terhitung cucu menantu Arya Lembu Sura, maka pada saat Arya Lembu Sura mangkat, Raden Rahmat menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surabaya.


Gerakan Dakwah Sunan Ampel 


Berdakwah adalah tugas setiap muslim, sebagaimana sabda Rasullulah ; "Sampaikan apa yang bersumber dariku walaupun satu ayat". Itu sebabnya tidak peduli seorang muslim kedudukannya sebagai pedagang, petani, nelayan, pejabat, atau raja sekalipun memiliki kewajiban utama menyampaikan kebenaran Islam kepada siapa saja dan dimana saja.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, usaha dakwah yang dilakukan Raden Rahmat yang dikenal dengan gelar Sunan Ampel adalah membentuk jaringan kekerabatan melalui petkawinan-perkawinan para penyebar Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit.

Lewat hubungan kekerabatan dengan penguasa Surabaya, Arya Lembu Sura itulah pada gilirannya membawa Raden Rahmat pada kedudukan sebagai bupati, penguasa Surabaya, menggantikan Arya Lembu Sura.

Dengan kedudukannya sebagai bupati yang berkuasa disuatu wilayah, gerakan dakwah yang dilakukan Raden Rahmat lebih leluasa, terutama dalam usaha memperkuat jaringan kekerabatan dengan penguasa-penguasa diwilayah lain. Di dalam Babad Tanah Djawi  dituturkan bagaimana dalam upaya memperkuat kekerabatan untuk tujuan dakwah, Raden Rahmat menikahkan Khalifah Usen (nama tempat di Rusia Selatan dekat Samarkand) dengan putri Arya Baribin, Adipati Madura.

Khalifah Usen adalah kerabat Raden Rahmat. Khalifah Usen memiliki saudara yang bernama Syaikh Waliyul Islam yang dinikahkan dengan Retno Sambodi, putri penguasa Pasuruan bernama Lembu Mirudha, yang masyur disebut Panembahan Gunung Bromo.

Kerabat Raden Rahmat yang lain adalah Syaikh Maulana Gharib, yang di nikahkan dengan Niken Sundari, putri Patih Majapahit bernama Mahodara.


Usaha dakwah melalui penguatan jaringan kekerabatan lewat pernikahan, dilanjutkan juga oleh Raden Rahmat sewaktu putra putrinya beranjak dewasa.

Putri hasil pernikahannya dengan Nyai Karimah putri dari Ki  Bang Kuning
Yang bernama Mas Murtosiyah dinikahkan dengan seorang santrinya , yaitu Raden Paku yang bergelar Sunan Giri. Dan adiknya Mas Murtosiyah yang bernama Mas Murtosimah dinikahkan dengan santrinya yang lain yang bernama Raden Patah yang menjadi Adipati Demak. Santrinya yang lain, Raden Kusen adik Raden Patah dinikahkan dengan dengan cucu perempuannya yang bernama Nyai Wilis.

Raden Rahmat selain mengajari murid-muridnya dengan membaca Al-Qur'an, ia juga mengajari mereka  kitab-kitab tentang ilmu syariat,tarekat, dan ilmu-ilmu hakikat, baik lafal maupun makna.

Raden Rahmat mencontohkan kehidupan yang zuhud dengan melakukan riyadhah ketat.
Babad Tanah Djawi menggambarkan amaliah rohani yang dijalankan Sunan Ampel sebagai berikut; (tidak makan tidak tidur, mencegah hawa nafsu/tidak tidur malam untuk beribadah kepada Tuhan/ fardhu dan sunah tidak ketinggalan/serta mencegah yang haram maupun yang makruh/tawajuh memuji Allah//).

Sekalipun pada usia senjanya sudah  menjadi tokoh yang sangat dihormati oleh masarakat sebagai sesepuh Wali Songo, namun tidak ada keseragaman kapan Sunan Ampel wapat. Babad ing Gresik menetapkan wafat Sunan Ampel dengan candrasengkala berbunyi,"Ngulma Ngampel lena Masjid" yang selain mengandung makna 'ulama Ampel wapat di masjid' juga mengandung nilai angka 1401 yang dikonversi ketahun masehi adalah 1479 Masehi.Padahal serat kandha mencatat Sunan Ampel wafat dengan candrasengkala "Awak kalih guna iku" yang mengandung nilai angka tahun 1328 saka yang sama dengan tahun 1406 masehi. Meski tidak ada kepastian kapan Sunan Ampel wafat, namun makamnya yang terletak disamping masjid Agung Ampel dijadikan pusat penziarahan umat Islam seluruh nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar