Awal Kemunduran Majapahit mulai tampak ketika Prabu Wirakmawarddhana terlibat perselisihan bersenjata dengan sudara iparnya Bhre Wirabhumi dalam perang suksesi memperebutkan tahta Majapahit yang berlangsung antara tahun 1401 sampai 1405 M . Perang itu disebut paregreg, bermakna perang yang berlangsung tarik ulur dan selang waktu dan bentuk pertempuran yang tersendat- sendat. Perang ini sangat menguras kekuatan Majapahit. Dua tahun sebelum perang itu, kekutan Majapahit juga terkuras akibat pemberontakan paraweswara di Palembang, yang berakibat Palembang jatuh ketangan kawanan bajak laut Cina. Dalam perang paregreg itu, Bhre Wirabbhumi tertangkap dan kepalanya dipenggal oleh Bhere Narapati. Kepala Bhre Wirabbhumi dibawa ke Majapahit, kemudian kepalanya dicandikan di Lung, candi makamnya disebut Grisapura. Dalam pertempuran sengit tersebut tidak kurang 170 orang prajurit utusan Kaisar Cina yang dibawa Laksamana Cheng Ho yang sedang berada di Blambangan ikut terbunuh karena salah paham. Wirakmawarddhana kemudian mengirimkan utusan untuk meminta maap kepada kaisar Cina. Kaisar Cina menyesali kejadian itu, dan meminta ganti rugi sebanyak 60.000 tail emas, tetapi ganti rugi itu hanya dibayarkan sebanyak 100000 tail emas oleh Wirakmawarddhana, dan sisanya dibebaskan oleh Kaisar. Setelah perang paregreg selesai, ternyata Majapahit masih dihadang sejumlah pemberontakan, terutama ketika Wirakmawarddhana mangkat dan digantikan putrinya Rani Suhita. Dibawah Rani Suhita, selain terjadi pemberontakan diberbagai daerah, kekuatan Majapahit semakin dilemahkan oleh terjadinya penyingkiran tokoh-tokoh unggul yang berjasa kepada kerajaan. Sebagai mana umumnya sebuah kekuasaan yang sudah tua, pada ahir masa senjanya, tahta Majapahit yang sudah suram itu dilingkari intrik-intrik dalam perebutan kekuasaan dan jabatan yang yang menyulut komplik internal dan bermuara pada pelemahan kekuasaan. Lewat berbagai intrik para tokoh yang setia, kuat, jujur dalam lingkaran kekuasaan satu persatu tersingkir. Seperti jabatan Mahapatih Majapahit yang dipegang oleh Tuan Kanaka sejak 1332 saka/1410 M dan mendadak diganti pada 1352 saka atau 1430 M, dan diberikan kepada orang yang tak memiliki kemampuan apa-apa kecuali menjilat dan menyenangkan atasan. Tuan Kanaka diberhentikan sebagai Patih tampa ada alasan yang jelas. Ratu Anggabhaya Bhre Narapati, tokoh yang berjasa dalam penumpasan pemberotakan Bhere Wirabhumi, tiba-tiba dijatuhi hukuman mati pada1355 saka atau 1430 M, tak lama setelah Patih Mangkubumi Tuan Kanaka di pensiunkan. Arya Damar adik Rani Suhita,pahlawan yang berhasil menumpas pemberontakan Pasunggiri, Bali, Bhre Dah, disingkirkan jauh dari Ibu Kota. Kekuasaan Rani Suhita berahir sampai wafatnya tahun 1447 M. Karena tak mempunyai putra, Ia digantikan adik laki-lakinya Dyah Kartawijaya, yang naik tahta Majapahit dengan nama; Sri Prabu Kertawijya Wijaya Parakmawarddhana. Sri Prabu Kertawijaya adalah Maharaja Majapahit pertama yang menaruh perhatin besar pada perkembangan agama Islam. Hal ini terjadi, karena selain Ia memiliki kerabat, kawan-kawan, pembantu-pembanya yang bergama Islam, juga kedua istrinya yang berasal dari Champa dan Cina juga beragama Islam. Prabu Kertawijya atau disebut juga Brawijaya V memiliki sejumlah putra yang beragama Islam, seperti Arya Damar Adipati Palembang, Raden Arak-Kali Bathara Katwang Adipati Pamedegan, Arya Menak Koncar Adipati Lumajang, Raden Patah Adipati Demak, Raden Bondan Kejawen Kyai Ageng Tarub II, Raden Dhandun Wangsaprana gelar sekh Belabelu. Selain sebagian Istrinya yang beragama islam, sejumlah kebijakan yang ditetapkan Sri Prabu Kertawijaya, tampak sekali memberi peluang bagi orang-orang yang bergama Islam, untuk memegang jabatan di Majapahit. Arya Teja yang beragama Islam diangkat menjadi Adipati Tuban. Aria lembu Sura yang beragama muslim diangkat menjadi Prabu di Surabaya. Kemenakan jauh istrinya yang bernama Sayid Es, telah diangkat sebagai anak dan dianugrahi gelar Syaihk Suta Maharaja dan kemudian diangkat menjadi Adipati Kendal. Kemenakan istrinya yang lain yaitu Ali Rahmatulah diangkat sebagai Imam di Surabaya dan kemudian dijadikan Bupati di Surabaya. Kakak Ali Rahmatulah yang bernama Ali Murtatdho asal negri Champa, diangkat menjadi imam di masjid Gresik dengan gelar Raja Pandhita, sementara itu kemenakan Istrinya yang bernama Burereh( Abu Hurairah) diangkat sebagai lebai di Wirasabha. Sri Prabu Kertawijaya mangkat pada1373 saka/1451 M. Setelah beliau mangkat Majapahit dengan cepat jatuh dalam perebutan kekuasaan yang berlarut-larut. Beliau digantikan Dyah Wijayakumara Bhre Pamotan yang naik tahta pada 1373saka/ 1451 M, dengan gelar Sri Rajasawarddhana, dinobatkan di Keling-Kahuripan yang terletah di Daha-Kediri, menunjukan ketidak beresan mengingat Dyah Wijayakusuma hanya berkedudukan sebagai menantu Sri Prabu Kertawijaya. Tidak sampai dua tahun berkuasa Dyah Wijayakusuma hilang ingatan. Dan ketika beliau naik perahu ditengah segara, Ia melompat dan mati tenggelam.Ia meninggalkan empat orang putra, dan seorang putri, yaitu; Bhere Khuripan, Bhere Mataram, Bhre Pamotan, Bhere Kretatabhumi, dan parameswari Lasem. Kekuasan sempat kosong tampa raja selama tiga tahun. Keadaan ini berahir pada tahun saka1378/1456 M. Ketika Bhere Wengker naik tahta dengan gelar Hyang Purwwaisesa. Bhre wengker ini adalah putra prabu Kertawijaya. Hyang Purwwaisesa selama memerintah meneruskan kebijakan ayahhandanya yang memberikan kedudukan-kedudukan penting kepadaagama kerabat-kerabat yang bergama Islam. Kekuasanya berjalan selama sepuluh tahun. Ia wapat pada tahun saka 1388/1466 M. Ia digantikan putranya Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhama yang saat itu menjadi Bhattare di Tumapel, yang naik tahta dengan gelar Singhawikramawarddhana,yang dalam prasasti Trowulan III disebutkan memiliki permasuri Bhre Singhapura Dyah Sripura Rajasawaddhanadewi. Sang Prabu Singhawikramawardhana, hanya berkuasa selama dua tahun. Sebab kebijakannya yang juga memberi kedudukan kepada kerabat-kerabatnaya yang bergama Islam, membuat Ia sangat dibenci oleh kerabatnya sendiri. Pada tahun saka1390/1468 M terjadi pemberontakan yang dipimpin Bhre Kertabhumi. Dalam pemberontakan itu Sang Raja pergi meninggalkan keraton. Sri Prabu lari dari ibu kota Majapahit dan berkuasa di Daha sampai mangkatnya pada tahun saka 1396/1474 M. Setelah beliau mangkat Bhere Kertabuhumi, mengakat dirinya sebagai Maharaja Majapahit satu-satunya. Tetapi keputusan Bhere Kertabhumi banyak yang menentang, terutama para Adipati pesisir Muslim. Saat itu di Majapahit terdapat dua orang raja, yang pertama Bhere Kertabhumi yang berkuasa di Wilwatika, yang kedua Dyah Ranawijaya putra Sri Prabu Suraprabhawa Singhawikramawarddhana, yang menggunakan gelar Abhiseka Girindrawardhana., Bhre Kertabhumi hanya berkuasa selama kurang dari empat tahun, setelah Dyah Ranawijaya membawa pasukan besar ke Majpahit merebut kembali kekeuasannya dari tangan Bhre Kertabhumi yang masih terhitung pamannya. Bhre Kertabbhmi terbunuh dikedaton pada tahun saka 1400. Dyah Ranawijaya berhasil mempersatukan kembali Majapahit yang terpecah-pecah . Walaupun demikian keadaan Majapahit yang sudah sangat rapuh dari dalam disertai timbulnya perkembangan-perkembangan baru di daerah pesisir utara Jawa dan Asia Tenggara umumya, menyebabkan Majapahit tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi, lambat laun sampai waktu kehancurannya...
Museum Trowulan Jawa TimurArca Wisnu
Sumur model kono di museum Trowulan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar