Kehidupan Sosial-religi di Majapahit pada perempat awal abad ke 15, menunjukan sebuah perubahan yang mendasar sebagai akibat kemunduran Majapahit dan berkembangnya pengaruh islam. Seorang muslim Cina yang mengikuti perjalanan ketujuh Cheng Ho ke Jawa yang berlangsung antara 1431-1433M, menuturkan bahwa di Jawa ketika itu terdapat tiga golongan penduduk. Golongan pertama adalah golongan penduduk Islam dari barat, yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Golongan kedua adalah orang-orang Cina yang lari dari negrinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik, dan banyak diantara mereka yang masuk Islam dan mereka taat melaksanakan ibadah agamanya. Sedangkan yang ketiga adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir,kaki telanjang,dan mereka memuja roh. Catatan panjang perjalanan Cheng Ho ke Nusantara menunjukan betapa gambaran masyarakat pribumi samapai 1431M, tak banyak berbeda dengan gambar-gambar relief-relief candi yang dibangun pada dewasa itu; penduduk laki dan perempuan belum mengenal penutup dada. Catatan Ma Huan dalam kunjungan ketujuh Ceng Ho itu juga menunjukan, betapa sampai saat itu penduduk pribumi Majapahit pada waktu itu belum memeluk agama Islam. Penduduk pribumi masih memuja roh. Dan keadaan penduduk yang hampir tidak berpakaian, kaki telanjang, rambut tidak disisir itulah gambaran penduduk dari kalangan kawula yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan penduduk keraton. Dikalangan penduduk Asia Tenggara , model masyarakatnya memang bersipat hidraulik; komonitas secara tipikal dibagi menjadi dua yaitu lingkungan keraton dan lingkungan Petani. Kalangan keraton menguasai perekonomian kalangan petani, dan dari aspek politis maupun agama, kedua kelompok itu terpisah satu sama lain. Itu sebabnya, kalangan petani yang disaksikan pada muhibah ketujuh Cheng Ho itu menunjukan kehidupan sosial dan keagamaan yang sebenarnya dari penduduk Jawa kalangan bawah. Sekalipun kalangan kraton menganut agama Hindu, kalangan petani nyaris lebih mengenal ajaran kapitayan yang tercemin dalam pada terjadinya pemujaan terhadap batu,tugu, cungkup (punden) pelindung desanya dari pada pemujaan dewa-dewa Budha- Hindu. Sejak pecah perang parereg, keberadaan Majapahit memang berangsur- angsur makin mundur. Aramada Majapahit yang pernah berjaya, telah lumpuh dan tidak mampu lagi digerakan kewilayah wilayah jauh diluar pulau Jawa. Sementara itu kemelut perebutan kekuasaan terus berlanjut tampa kendali hingga wilayah Majapahit bersepihan menjadi kadipaten-kadipaten kecil . Bahkan Palembang wilayah Majapahit di Sumatra selatan, sempat jatuh ketangan petualang dan bajak laut Liang Tau Ming, selama bertahun-tahun dan dilanjutkan oleh Chen Tsui,Shi Chin Ching, dan Shi Chi Sun. Ditengah kemerosotan kehidupan sosial itu, terjadi juga kemorosotan kehidupan religius masyarakat di Majapahit. Falsafah Lingga-Yoni sebagai hasil sinkkretitasi Syiwa-Budha yang terpengaruh ajaran Yoga-Tantra dari sekte Sakhta dan Bhairawa- Tantra yang sudah merosot, berkembang luas dikawasan pedalaman maupun pesisir. Salah satu upacara Yoga-Yoni yang lazim dilakukan adalah masyarakat dewasa waktu itu adalah apa yang disebut upacara Pancamakara atau Ma-lima yang meliputi Mamsha(daging), Mastya(ikan),Madya (minuman keras), Maihuna (bersetubuh), dan Mudra (bersemedi). Mereka yang melakukan upacara Ma-lima,membentuk lingkaran yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang. Ditengah-tengah lingkaran itu disajikan makanan dari lauk pauk daging dan ikan, dan minuman keras. Setelah makan dan minum-minuman keras hingga mabuk, para peserta Ma-lima bersetebuh ramai-ramai. Setelah nafsu perut dan syahwat terpuaskan, mereka kemudian melakukan semadhi.
Gambar Lingga YoniMasjid Agung Demak