Bila kita renungkan, rasanya memang benar demikian. Kalau kita terpaku hanya pada musibahnya saja, maka jelas bagaimanapun musibah itu pasti jelek; namun bila kita tidak memfokuskan hanya pada musibah itu saja, tetapi juga melihat segala aspek yang ada, maka akan terlihat justru karena adanya musibah itulah hidup menjadi lurus.
Kita sering kali mendamba-dambakan mempunyai harta yang berlimpah, pangkat yang tinggi, ataupun menjadi orang yang sangat terkenal. Begitu tingginya keinginan itu sehingga seringkali kita mewujudkan dalam tindakan berupa menundukkan atau merendahkan diri sedemikian rupa pada orang-orang kaya ataupun pada orang-orang yang berpangkat. Padahal statistik menunjukan bahwa orang-orang kaya atau orang yang bepangkat itu lebih banyak mengalami stres ataupun tenggelam dalam maksiat ketimbang petani miskin di desa.
Jadi sebenarnya menjadi kaya raya ataupun berpangkat tinggi itu ternyata bukan merupakan jaminan untuk dapat hidup bahagia, apa lagi untuk masuk surga.
Dari uraian singkat diatas, tampaknya kita harus pandai-pandai bersikap pada waktu menerima nikmat atau musibah. Karena nikmat atau musibah itu bisa saja mempunyai makna yang sebaliknya. Bila hal ini dipahami dengan baik, maka kita tidak akan "memarahi" Tuhan apa bila suatu ketika Dia memberi kita musibah, ataupun mengira Dia pasti meridhoi segala perbuatan kita, kalau kita ditenggelamkan Dia dalam lautan kesenangan atau kesuksesan duniawi.
Demikian juga, kita tidak termasuk orang yang salah kaprah, yaitu yang memohon ampun pada saat mendapat musibah dan bersyukur pada saat menerima musibah!
" Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal Ia amat baik,dan boleh jadi (pula), kamu menyukai sesuatu, padahal Ia amat buruk bagimu; Allah maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui" {Al-Baqarah (2):216}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar